Jumat, 29 Januari 2010

Mengikis Mental Pengemis


"Mengemis", dalam maknanya yang tekstual, ia menggambarkan satu kondisi mental yang kurang bermartabat. Konotasinya jelas kurang baik. Kecuali, jika "mengemis" mengalami pemuaian makna dan dalam kontekstualisasi tertentu, misalnya "mengemis" harapan pada hidup atau pada Yang Maha Hidup.

Hari ini, potret pengemis bukan saja pada fenomena sosial yang telah menjadi sengkarut persoalan pemerintah, tetapi ia telah merambah berbagai belahan dan dimensi hidup, termasuk sudah merasuki berbagai sudut karakter dan mental masyarakat di berbagai segi.

Oknum pejabat banyak yang tidak sungkan untuk melebarkan telapak tangannya agar diselipi amplop berisi fulus, ceritanya untuk transport. Sementara orang-orang tak dikenal yang mengatasnamakan wartawan, hilir mudik ke desa-desa, sedikit seolah bertanya tentang A atau B, lalu mereka meminta ganti ongkos untuk pulang. Ini di ranah akar rumput, di pelosok yang kental dengan nuansa kompleksitas masalah sosialnya.

Sementara di atas, para elit-elit tidak sungkan untuk "menjual" dirinya demi kepentingan. Anak muda juga mahasiswa juga tak sungkan-sungkan menengadahkan tangannya kepada jaringan, patron, atau kepada abang-abangnya agar ia diberikan kemulusan jalan dalam meraup kenikmatan hidup.

Sudah sebegitu sempitkan dunia ini sehingga jalan keluar dari semua sengkarut hidup kita harus diselesaikan lewat kebaikan dan kemurahan orang lain? Kupikir, jika bangsa ini ingin bangkit, maka pertama-tama ia harus menguras dan mengikis habis mental-mental pengemis seperti tadi. Lalu dengan segera menggempur dan memorak-porandakan mental itu dan menggantinya dengan mental kreatif dan mandiri.

Kreativitas adalah bagian absolut dari eksistensi manusia, dan ia sudah merupakan paket (bundling) dari Allah SWT. Dengan ini, maka wajah bangsa yang senantiasa mengemis harus dirubah dengan mental kreatif, mental "nalaktak", mentak "motekar", agar kita bisa keluar dari jeratan kemiskinan, ketertindasan, ketertinggalan, dan keterjajahan orang lain.

Jika kreativitas adalah produktivitas kita, maka kemandirian merupakan output sekaligus wujud pengejawantahan mentalitas kita yang bermartabat. Pada fase ini, kita tak akan membiarkan diri kita ditindas, dijajah, diintimidasi dan diinjak-injak harga diri kita. Kita akan menjadi manusia yang disegani, dihormati, dan diperlakukan layak, baik dalam kaca mata individu, maupun dalam perspektif sosial kemasyarakatan.

Hanya sayang, kita tak pernah berfikir bahwa kita adalah raksasa yang syarat potensi, kekuatan dan peluang. Kita jarang percaya diri, sehingga ketauhidan dalam makna keyakinan laik dipertanyakan. Kita lebih percaya pada apa yang dikatakan orang lain, dalam takaran tertentu, ketimbang naluri, insting, serta kepercayaan yang ada dalam diri kita. Kita lebih rela memasrahkan diri kita diatur orang lain, ketimbang kita mengatur diri sendiri. Kita lebih asyik diberi ketimbang mencari atau memberi. Kita lebih asyik mengejar-ngejar patron atau senior kita ketimbang mencoba, memulai, atau memutuskan untuk bertahap hidup, meski sederhana dan kecil. Kita lebih enak tertawa dan disuapi, ketimbang mencari sendiri dan mandiri.

Akhirnya kita merasa hebat duduk disamping orang-orang besar, disuruh A atau B, ketimbang ia memosisikan diri sebagai raja, meski raja kecil. Saya teringan semboyan kawan saya, lebih baik menjadi kepala kucing daripada menjadi ekor gajah. Ini benar, inilah semangat membangun kualitas diri yang hebat, yang memungkinkan semua potensi yang kita miliki menjadi berarti dan bermanfaat.

Kini saatnya kita rubah, kita mulai dari diri kita, kita coba hargai diri kita secara proporsional dan percaya diri, kita dorong diri kita untuk tumbuh menjadi besar, kita hiraukan ketergantungan-ketergantungan, kita mandirikan diri kita, kita tumbuhkan kreativitas kita, meski kecil, jika itu adalah buah karya kita, maka dunia akan lebih menghargai jerih payah kita ketimbang besar tapi hasil jiplakan atau uluran tangan orang lain.

Senin, 25 Januari 2010

"Bertarung" Merebut Kursi Ketum HMI Purwakarta

“Salam. mohon doa dari kanda sekalian… Insyaallah dinda akan bertarung d arena konfercab himpunan mahasiswa islam (HMI) cabang purwakarta pada tanggal 31 januari 2010. wassalam.”

Hari ini, tanggal 25 Januari 2010 tepat pukul 12.04.12 saya mendapat sms dari seseorang. Isi sms-nya persis dengan yang saya tulis di atas. Bahkan, ejaan, tanda baca, pun persis saya translate kedalam tulisan ini. Entah karena kebetulan atau tidak, yang jelas biasanya kalau saya mengutip sms kedalam sebuah tulisan, selalu saya tulis seadanya, persis, satu pun tidak ada yang saya dirubah.

Saat ini sebenarnya saya tengah mempersiapkan pertanggungjawaban uang program kepada masyarakat sebesar Rp. 900.000.000. Ada sekitar 20 rupa laporan yang harus saya buat, termasuk RAB dan proyeksi di tahun 2010. Mendapat sms di atas, saya pending dulu itu laporan, lalu saya menulis catatan ini. Mengapa? Lantaran ada beberapa hal yang menggelitik nalar saya.

Yang menggelitik itu sebenarnya hanya dalam satu kata, “bertarung”. Bertarung? Ha..ha… Kaya pemain judo atau pesilat saja. Lima tahun silam memang saya juga pernah mengikuti ilmu bela diri pencak silat. Waktu itu di Pesantren Wanayasa. Sang pelatih selalu mengingatkan, berulang-ulang, bahwa apa yang tengah dipelajari bukan untuk benar-benar digunakan dalam “pertarungan” secara fisik, tetapi bagaimana “bertarung” melawan emosi (nafsu) kita sendiri.

Selanjutnya, “bertarung” dalam konteks di atas menjadi menarik lantaran ia bukan variabel yang independen, berdiri tanpa tautan dengan kata yang lainnya. “Bertarung” dalam sms kader tadi diembel-embeli dengan “konfercab”, “mahasiswa”, dan “Islam”.

Jelas, dalam nalar logis dan sadar, bahwa “bertarung” di atas bisa menjelaskan satu bentuk dinamika organisasi kemahasiswaan yang lahir tahun 1947 lalu itu. Namun, tendensi “bertarung” berkonotasi kurang benar, lantaran konsensus kebahasaan telah menjembatani jurang antara pemaknaan dan lahiriyah sebuah bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bertarung adalah proses konfrontasi fisik antara satu individu dengan individu yang lain. Dengan begitu, apa yang dikatakan oleh kader di atas, tidak relevan, mengingat korelasi verbal dengan konteks makna sesungguhnya amat jauh.

Secara kontekstual, bahwa dinamika organisasi tidak harus kemudian membentuk satu spirit baru dalam bentuk yang frustatif dan heroik, misalnya “bertarung”. Karena imajinasi “tarung” tidak sebombastis fakta sesungguhnya. Ia hanya buble, hanya gelembung linguistik yang di dalamnya disusupi semangat fanatis dan sektarian golongan atau individu. Sebab seungguhnya, apa lagi dalam lingkup internal organisasi, tidak ada lawan yang harus diposisikan di “sana”, sementara saya “di sini”. Semuanya adalah di sini dan di sana, tidak ada aku dan kau, yang ada adalah kita semua.

He…. Tetapi, empat tahun yang lalu, saya, Hasan Sidik, juga pernah mengirim sms serupa kepada para alumni dan senior, nadanya hampir persis, cuma tidak ada kata “tarungnya” saja. Lawan “tarung” (Eit, sudah ikut-ikutan pake kata tarung segala, dasar lidah! Mudah keseleo) saya waktu itu senior saya sendiri. Saya pikir waktu itu, sms demikian adalah bagian dari usaha seorang kader untuk coba mengukur kualitas diri dan bagaimana seorang calon ketua umum, apa lagi Ketua Umum HMI, bisa diterima oleh semua pihak.

Setelah perseteruan yang sengit, (eee… maaf saya juga menggunakan kata “perseteruan sengit”, padahal faktanya tidak berseteru dan tidak begitu sengit), saya terpilih sebagai Ketua Umum. Perasaan keren, bangga, hebat, jadi pemimpin gitu lhoh. Tetapi, hari-hari yang saya jalani setelah itu, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Amanah besar yang saya pikul tidak selalu dapat saya tunaikan. Berat. Banyak cercaan. Listrik sekretariat telat bayar saja jadi tema sentral para alumni dan kader-kader yang tak sepersepsi. Tapi minimal, saya bersyukur pernah merasakan bagaimana menjadi individu yang secara formalitas didaulat oleh kawan-kawan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta periode 2005-2006. (Perasaannya mendebarkan…)

Nah, ketika beberapa menit yang lalu ada kader yang sms, saya juga tergelitik. Terpikir untuk menguji nalar sendiri, menganalisis, lalu ingin mengkritik. Setelah mengkritik, jadi ingin tertawa. Ha..ha..ha.. Saya juga dulu begitu, Dinda…..! (Ala…h.. pake Kanda-Dinda segala. Amang-amangan wae meureun!).

Yakusa HMI Purwakarta, tolong gelorakan semangat perkaderan dan semangat membangun insan akademis, pencipta, pengabdi yang diridhoi Allah SWT….

Sabtu, 23 Januari 2010

Membaca Peluang Usaha

Insting pebisnis yang tajam dalam mencium peluang bisnis biasanya bisa melihat kondisi status quo, kondisi dimana orang-orang sudah terbiasa dengan sebuah kebudayaan atau perilaku. Agar status quo bisa menjadi peluang, maka pebisnis harus 'mengedukasi' para calon pelanggannya agar mereka semua mau melakukan 'transisi'. Dengan modal keuletan dan kreativitas dalam memasarkan produknya, pebisnis tersebut tentunya akan berhasil menguasai pasar.

Alkisah pada suatu waktu ada seorang pedagang baju yang datang ke sebuah desa. Setibanya di desa, dia melihat para penduduk desa tersebut badannya penuh dengan hiasan tattoo dan tidak memakai baju sama sekali.

Kecewa, dia kemudian menulis surat pada istrinya, "Istriku, tidak usah mengirimi aku stock baju untuk dijual di desa ini. Disini tidak ada peluang bisnis. Saya akan pergi ke desa lainnya."

Seminggu kemudian, datanglah pedagang baju yang lain. Dia pun melihat hal yang sama dengan pedagang sebelumnya, tidak ada seorang pun penduduk desa yang memakai baju.

Melihat hal tersebut, kemudian dia mengirim surat pada istrinya, "Istriku, saya telah menemukan pasar baru untuk barang-barang kita. Tolong siapkan baju pria, wanita dan anak-anak. Desa ini akan menjadi pasar yang sangat besar untuk usaha kita. Saya yakin usaha kita akan menjadi maju disini."

Kenapa pedagang kedua tidak segera meninggalkan desa tersebut sebagaimana halnya pedagang pertama dan malah meminta istrinya untuk menyiapkan banyak baju?

Hal yang mendorong pedagang kedua untuk tetap bertahan adalah keberaniannya untuk mengambil resiko dan keluar dari zona nyamannya. Pedagang pertama merasa tidak nyaman ketika berada di desa tersebut karena merasa tidak yakin barang jualannya akan laku terjual. Itu karena dia merasa hanya akan membuang-buang waktu saja bila dia tetap tinggal di desa tersebut, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke desa lainnya.

Tetapi hal yang paling membedakan pada kedua pedagang tersebut adalah dalam hal ketajaman dalam penciuman peluang bisnis. Pedagang pertama hanya mampu melihat 'kue' yang sudah terletak di atas meja, sedangkan pedagang kedua mampu melihat 'kue' yang masih tersembunyi. Padahal apabila 'kue' sudah terletak di atas meja, maka akan banyak orang yang punya keinginan untuk memiliki atau setidaknya mendapat bagian dari kue tersebut. Sedangkan kue yang masih tersembunyi tentunya hanya akan dinikmati oleh orang yang menemukan kue tersebut, orang lain hanya akan mendapat sisa atau remah-remahnya saja.

Seorang yang tajam dalam mencium peluang bisnis biasanya bisa melihat kondisi status quo, kondisi dimana orang-orang sudah terbiasa dengan sebuah kebudayaan atau perilaku. Pedagang kedua berani 'menantang' budaya orang desa tersebut dan menawarkan baju pada penduduk desa.

Untuk memperlancar usahanya, pedagang kedua tentunya harus 'mengedukasi' para calon pelanggannya agar mereka semua mau melakukan 'transisi'. Dengan modal keuletan dan kreativitas dalam memasarkan dagangannya, pedagang kedua tersebut tentunya akan berhasil menguasai pasar pakaian di desa tanpa baju tersebut.

Sepertinya memang berat, tetapi tentu hasilnya akan sesuai dengan usaha yang telah dikeluarkan.

Di era yang semakin kompetitif dan informasi yang sudah tersedia, sekarang mana yang akan Anda pilih, kue yang sudah ada di atas meja atau yang masih tersembunyi? Kalau Anda memilih kue yang ada di atas meja, siapkan sumber daya Anda sebaik mungkin untuk bertarung dengan para kompetitor. Bila Anda memilih untuk mencari kue yang masih tersembunyi, carilah kondisi status quo, dan rubahlah kondisi tersebut ke arah yang Anda inginkan!


(By Adhi Nugroho)

Belajar Komputer

belajar-ilmu-komputer.blogspot.com

Mengenai Saya

Foto saya
Purwakarta, Jawa Barat
Lahir di Purwakarta, 21 Pebruari 1983. Pernah singgah di STIE Dr. KHEZ Muttaqien Purwakarta jurusan Manajemen SDM. Pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai Ketua Umum periode 2005-2006. Kini kegiatan sehari-hari mengabdi kepada masyarakat lewat PNPM Mandiri Perdesaan, sebagai Ketua UPK Kec. Kiarapedes Purwakarta. Aktif juga mengajar TI di MTs YPMI Wanayasa, Membuka Kursus Komputer serta Jasa Pelayanan Masyarakat di Bidang TI. Sekarang tengah merintis usaha di bidang pertanian dan peternakan. Selain itu untuk konsumsi pribadi, tengah giat menulis novel. Satu nivel telah selesai dan sekarang tengah mencari penerit untuk menerbitkan novel tersebut.

Kurs

Berita Artis

script type="text/javascript"> kb_content = 'celebrity';

Berita Terkini