Minggu, 14 Februari 2010

Longsor Di Kampung Kami

Post Jurnalisme
Dulu, atau bahkan beberapa minggu yang lalu, kampungku begitu sepi. Tiba-tiba keadaan itu berjungkirbalik 380 derajat. Orang-orang hilir mudik, mulai warga biasa, jurnalis, sampai pada pejabat.

Di televisi dikabarkan longsor disertai puluhan rumah tertimbun. Bahkan ada korban jiwa. Benarkah? Faktanya tidak sebombastis itu. Jika ratusan sawah tertimbun bongkahan batu, itu benar. Jika pohon-pohon tumbang dan terbawa hanyut, itu benar. Jika 1 rumah hanyut dan satunya lagi rusak, itu benar. Tetapi jika puluhan rumah tertimbun, apa lagi merenggut korban jiwa, itu namanya kebohongan publik.

Memang postjurnalisme yang disampaikan Yasraf Amir Pilliang begitu. Ada semacam seolah-olah fakta tetapi bukan fakta. Ada keinginan untuk menyusufi fakta biasa-biasa menjadi luar biasa. Dampaknya, tentu interest audiens akan tersedot kepada yang seakan-akan fakta bombastis itu.

Penebang Misterius
Tapi biarlah itu begitu, saya di sini hanya ingin mencatat beberapa gerundelan hati dalam memotret musibah longsor ini. Terutama setelah ada kawan yang kirim sms: "Matak oge kai di leuweung teh tong ditaluaran wae, jadi weh longsor".

Lima belas tahun yang lalu, ketika usia saya masih kanak-kanak, saya sering pergi ke hutan, tepatnya ke lokasi di mana sekarang terjadi longsor. Di situ saya bersama kawan-kawan lain mencari kayu bakar. Apakah menebang? Tentu tidak. Dan mana berani? Kalau ada polisi hutan pasti ditangkap, disidang, dan didenda. Yang kami pungut adalah kayu-kayu kering, kayu-kayu yang siap dibakar untuk kebutuhan masak orang tua kami.

Suatu hari kami pergi agak jauh kedalam hutan. Sampailah di sebuah dataran, orang-orang kampung kami menamainya dengan "Dataran". Di situ lokasinya memang datar, arealnya luas, pohon-pohon pinus dan kayu merah lainnya tumbuh rimbun.

Tetapi hari ini di dataran sangat bising. Tak seperti biasanya. Padahal, biasanya yang terdengar di hutan itu cicit-cuit burung di dahan, suara binatang, atau kadal di antara rerumpunan semak-semak. Hari itu ada mesin senso, beberpa orang tak dikenal lagi sibuk membelah kayu yang diameternya segede kerbau. Ya, orang kami untuk menunjuk betapa besarnya sebuah diameter kayu biasanya menyerupakan dengan diameter kerbau.

Kayu-kayu besar tergeletak, yang sudah dibelah dan dibentuk balok bertumpuk. Sementara beberapa orang tengah sibuk mengangkut balok itu. Saya tak berani tanya. Karena memang takut.


Dikejar polisi hutan

Mamang saya biasa cari kayu bakar ke hutan. Hari itu hari yang apes. Ia ketahuan sama polisi hutan. Ia dikejar. Tetapi tak sampai kekejar. Namun sore harinya ada panggilan dari RK setempat. Harus bayar denda. Lalu dibayarlah itu denda.

Longsor yang mencekam
Saat ini ratusan sawah di kampungku tertimbun lumpur, bebatuan, dan kayu-kayu besar dari hutan. Rumah salah seorang warga hanyut di bawa air bah yang besar. Masyarakat panik. Hujan deras yang mengguyur menyebabkan semua kepanikan itu. Esok paginya, masyarakat tahu bahwa hutan yang ada di sebelah utara mereka longsor. Mungkin sementra waktu air terhalang oleh longsor, berkubang, lalu jebol dan sekaligus ia menghantam segala yang ada di sungai dan sekitarnya, lalu meluap ke sawah dan kebun warga.

Siang harinya orang-orang berkerumun, ingin tahu apa yang terjadi. Mulai dari anak-anak sampai tua-renta. Anak muda dan warga sibuk membersihkan jalan. Sementara para pejabat juga datang meninjau lokasi. Pun wartawan, baik cetak maupun elektronik, baik lokal maupun nasional datang ke lokasi. Mereka ambil gambar. Mereka tanya sana-sini, mereka catat, lalu mereka muat di harian mereka atau mereka ekspose di berita-berita televisinya.

Setelah itu beragam komentar, kritik, juga percakapan berkembang. Ada yang mengutuk, ada yang berduka cita, bahkan ada yang menyalahkan masyarakat sekitar kaki gunung. Mereka bicara serampangan : warga menebang pohon sembarangan.

Memang ketika jaman pemerintahan Gusdur (alm) masyarakat sekitar diperbolehkan untuk menggarap areal hutan yang dekat dengan perkampungan untuk ditanami palawija, kayu-kayu produktif, dan tumbuhan lainnya. Namun setelah Gusdur lengser, ada larangan. Banyak masyarakat yang menebang pohon hasil tanamanya sendiri dipenjara.

Kini, di areal dimana terjadi longsor, beberapa warga menanam pohon kopi. Entah siapa yang ada di balik layar enanaman kopi tersebut. Dan entah ada kaitan atau tidak antara semua rentetan kejadian di atas dengan bencana longsor yang terjadi saat ini.

Saat ini saya berharap, bahwa hukum benar-benar ditegakkan. Pemerintah memiliki visi yang jelas, bukan hanya menjadikan bencana sebagai komoditas politik. Semua warga Purwakarta bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini, bukan hanya saling tuding dan menyalahkan, apalagi jika rakyat yang selalu menjadi kambing hitam dari setiap persoalan.

Saat ini mendung masih menggelayut. Warga sekitar masih panik hawatir longsor susulan datang. Menurut peneitian, di hutan sana masih ada retakan yang memungkinkan longsor susulan. Mudah-mudahan semua pihak bisa berfikir positif untuk menyelesaikan masalah ini. Dan mudah-mudahan kita bisa belajar dari alam, bahwa alam juga layaknya manusia yang mesti diperlakukan selayaknya.

Mohon doanya semoga tidak terjadi longsor susulan.

Sabtu, 06 Februari 2010

Akhirnya Mereka Tahu, Ibuku Gila...

Memiliki pasangan hidup yang serasi adalah dambaan setiap orang. Banyak hal dilakukan orang untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal. Mulai dari memilih-milih pasangan, meneliti, sampai mencoba..

Parameter yang lumrah dijadikan pertimbangan adalah cara berfikir, dimensi spiritualitas, agama, kebiasaan, kepribadian, materi, fisik, sampai pada jejak rekam di masa lalu, termasuk jejak rekam keluarga (keturunan). Untuk mendapatkan pasangan yang ideal itu orang rela melakukan apa saja.

Lalu apa jadinya jika ternyata semua hasil riset awal seseorang ketika menilai calon pasangan hidupnya tidak sesuai lantaran berbagai hal, misalnya lantaran ketidakterbukaan pasangan kita sewaktu pacaran.

Dimungkinkan banyak alternatif sikap yang akan muncul, namun dua diantaranya kontras dan hampir mewakili keseluruhan sikap : 1. Kecewa dan meminta berpisah, 2. Menerima kenyataan, karena sudah terlanjur.

Kedua sikap di atas umum dan manusiawi, lantaran harapan awal setiap orang sudah sedemikian menggebu-gebu, tiba-tiba ia mendapatkan yang tidak sesuai, maka ia tentu akan kecewa. Tetapi ketika setiap diri kita menyadari kelemahan setiap manusia dan ketiadasempurnaan, maka ia akan menerima kenyataan, sepahit apapun kenyataan itu.

Secara teoritis, secara konseptual, saya memandang persoalan memilih pasangan, termasuk sikap setelah pasangan yang kita pilih bukan yang kita harapkan, adalah demikian. Namun faktualnya lebih rumit dan berliku. Di bawah ini saya sajikan cerita harian saya ketika memotret seseorang yang masih kerabat jauh, tetapi pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan cukup membuat diri saya tertegun : Ternyata inilah hidup!

Dia, sebut saja Aini, seorang perempuan kampung. Hidup di bawah naungan orang tua angkatnya. Ia diangkat semenjak tali ari-ari dirinya belum digunting sama dukun anak. Ia memiliki seorang kakak, laki-laki, usianya terpaut 8 tahun. Sekolah sampai MTs, setingkat SMP. Ia sangat disayangi oleh orang tua angkatnya. Pas mau melanjutkan sekolah ke SMA, ibu angkatnya meninggal dunia. Lalu perempuan itu tak jadi sekolah. Ia malah bekerja sebagai penjaga warung di Kampus UPI Purwakarta.

Belum lama bekerja, ia dipanggil kerabatnya. Ada seseorang yang hendak melamarnya. Akhirnya, perempuan itu, atau saya sebut saja Aini, menikah di usia yang cukup belia. Kakaknya menjadi wali pernikahan, sementara kakaknya sendiri belum menikah.
Setahun menikah, ia hamil. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan.

Sampai usia bayinya sepuluh hari, tak ada persoalan. Setelah hampir sebulan dari melahirkan, mertua laki-laki bertanya, kenapa tidak ada orang tua Aini atau kerabat lainnya yang menjenguk? Dari sinilah titik awal persoalan hidup yang rumit itu muncul.

Setelah ditelusuri oleh keluarga lelaki, atau bagi Aini merupakan mertua, ternyata keluarga lelaki Aini menemukan fakta yang mencengangkan. Mereka baru tahu, ternyata ibu Aini mengalami gangguan jiwa.

Keluarga suami Aini tak terima dengan kenyataan ini. Mereka ingin menceraikan Aini. Suami Aini juga menjadi dingin. Aini tersudut. Padahal bayi mungil mereka begitu lucu dan senantiasa tertawa. Sampai sekarang, Aini sering diperlakukan kurang layak. Sementara ibu dan bapak mertua, serta kerabat-kerabat lainnya tidak pernah datang ke rumah Aini. Mereka merasa terhina jika harus memiliki menantu keturunan orang gila.

Lima bulan setelah Aini melahirkan, Rudi, kakak Aini menikah. Rudi juga hidup dibawah asuhan orang tua angkat. Rudi menikah dengan orang terpandang. Sebab orang tua Rudi juga mantan Kepala Sekolah. Tiga bulan perjalan hidup rumah tangga mereka mengalir tanpa masalah. Di bulan keempat, keluarga istri Rudi tahu bahwa ibu Rudi adalah orang gila. Mereka tak terima. Lalu sampai kini, istri Rudi sering memperlakukan Rudi dengan sikap kasar, bicara yang kotor, dan perlakukan-perlakuan tak manusiawi lainnya.

Saya tak tahu, kisah apa saja yang akan mereka bukukan, kedua kakak beradik itu ke depan dalam menjalani hidupnya sebagai suami-istri? Aini, sang adik harus menanggung perlakuakn mertua dan suaminya, sementara Rudi, ia juga harus menanggung perlakuakn memrtua dan sitrinya.

Aini pernah bercerita kepada saya, ia tak tahu bahwa ibunya gila. Dan kalaupun tahu, ia tidak pernah mempersoalkan itu. “Kan sudah takdir, mau gimana lagi?” begitu kilahnya dengan penuh keikhlasan. Hanya saat ini ia berharap, bahwa orang-orang di sekelilingnya menghargai dia sebagai manusia, bukan sebagai perempuan yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang jiwanya terganggu. Dan ia juga ingin, orang-orang tetap memperlakukan ibunya sebagai manusia, bukan sebagai pengidap gangguan jiwa….

Belajar Komputer

belajar-ilmu-komputer.blogspot.com

Mengenai Saya

Foto saya
Purwakarta, Jawa Barat
Lahir di Purwakarta, 21 Pebruari 1983. Pernah singgah di STIE Dr. KHEZ Muttaqien Purwakarta jurusan Manajemen SDM. Pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai Ketua Umum periode 2005-2006. Kini kegiatan sehari-hari mengabdi kepada masyarakat lewat PNPM Mandiri Perdesaan, sebagai Ketua UPK Kec. Kiarapedes Purwakarta. Aktif juga mengajar TI di MTs YPMI Wanayasa, Membuka Kursus Komputer serta Jasa Pelayanan Masyarakat di Bidang TI. Sekarang tengah merintis usaha di bidang pertanian dan peternakan. Selain itu untuk konsumsi pribadi, tengah giat menulis novel. Satu nivel telah selesai dan sekarang tengah mencari penerit untuk menerbitkan novel tersebut.

Kurs

Berita Artis

script type="text/javascript"> kb_content = 'celebrity';

Berita Terkini