Sabtu, 06 Februari 2010

Akhirnya Mereka Tahu, Ibuku Gila...

Memiliki pasangan hidup yang serasi adalah dambaan setiap orang. Banyak hal dilakukan orang untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal. Mulai dari memilih-milih pasangan, meneliti, sampai mencoba..

Parameter yang lumrah dijadikan pertimbangan adalah cara berfikir, dimensi spiritualitas, agama, kebiasaan, kepribadian, materi, fisik, sampai pada jejak rekam di masa lalu, termasuk jejak rekam keluarga (keturunan). Untuk mendapatkan pasangan yang ideal itu orang rela melakukan apa saja.

Lalu apa jadinya jika ternyata semua hasil riset awal seseorang ketika menilai calon pasangan hidupnya tidak sesuai lantaran berbagai hal, misalnya lantaran ketidakterbukaan pasangan kita sewaktu pacaran.

Dimungkinkan banyak alternatif sikap yang akan muncul, namun dua diantaranya kontras dan hampir mewakili keseluruhan sikap : 1. Kecewa dan meminta berpisah, 2. Menerima kenyataan, karena sudah terlanjur.

Kedua sikap di atas umum dan manusiawi, lantaran harapan awal setiap orang sudah sedemikian menggebu-gebu, tiba-tiba ia mendapatkan yang tidak sesuai, maka ia tentu akan kecewa. Tetapi ketika setiap diri kita menyadari kelemahan setiap manusia dan ketiadasempurnaan, maka ia akan menerima kenyataan, sepahit apapun kenyataan itu.

Secara teoritis, secara konseptual, saya memandang persoalan memilih pasangan, termasuk sikap setelah pasangan yang kita pilih bukan yang kita harapkan, adalah demikian. Namun faktualnya lebih rumit dan berliku. Di bawah ini saya sajikan cerita harian saya ketika memotret seseorang yang masih kerabat jauh, tetapi pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan cukup membuat diri saya tertegun : Ternyata inilah hidup!

Dia, sebut saja Aini, seorang perempuan kampung. Hidup di bawah naungan orang tua angkatnya. Ia diangkat semenjak tali ari-ari dirinya belum digunting sama dukun anak. Ia memiliki seorang kakak, laki-laki, usianya terpaut 8 tahun. Sekolah sampai MTs, setingkat SMP. Ia sangat disayangi oleh orang tua angkatnya. Pas mau melanjutkan sekolah ke SMA, ibu angkatnya meninggal dunia. Lalu perempuan itu tak jadi sekolah. Ia malah bekerja sebagai penjaga warung di Kampus UPI Purwakarta.

Belum lama bekerja, ia dipanggil kerabatnya. Ada seseorang yang hendak melamarnya. Akhirnya, perempuan itu, atau saya sebut saja Aini, menikah di usia yang cukup belia. Kakaknya menjadi wali pernikahan, sementara kakaknya sendiri belum menikah.
Setahun menikah, ia hamil. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan.

Sampai usia bayinya sepuluh hari, tak ada persoalan. Setelah hampir sebulan dari melahirkan, mertua laki-laki bertanya, kenapa tidak ada orang tua Aini atau kerabat lainnya yang menjenguk? Dari sinilah titik awal persoalan hidup yang rumit itu muncul.

Setelah ditelusuri oleh keluarga lelaki, atau bagi Aini merupakan mertua, ternyata keluarga lelaki Aini menemukan fakta yang mencengangkan. Mereka baru tahu, ternyata ibu Aini mengalami gangguan jiwa.

Keluarga suami Aini tak terima dengan kenyataan ini. Mereka ingin menceraikan Aini. Suami Aini juga menjadi dingin. Aini tersudut. Padahal bayi mungil mereka begitu lucu dan senantiasa tertawa. Sampai sekarang, Aini sering diperlakukan kurang layak. Sementara ibu dan bapak mertua, serta kerabat-kerabat lainnya tidak pernah datang ke rumah Aini. Mereka merasa terhina jika harus memiliki menantu keturunan orang gila.

Lima bulan setelah Aini melahirkan, Rudi, kakak Aini menikah. Rudi juga hidup dibawah asuhan orang tua angkat. Rudi menikah dengan orang terpandang. Sebab orang tua Rudi juga mantan Kepala Sekolah. Tiga bulan perjalan hidup rumah tangga mereka mengalir tanpa masalah. Di bulan keempat, keluarga istri Rudi tahu bahwa ibu Rudi adalah orang gila. Mereka tak terima. Lalu sampai kini, istri Rudi sering memperlakukan Rudi dengan sikap kasar, bicara yang kotor, dan perlakukan-perlakuan tak manusiawi lainnya.

Saya tak tahu, kisah apa saja yang akan mereka bukukan, kedua kakak beradik itu ke depan dalam menjalani hidupnya sebagai suami-istri? Aini, sang adik harus menanggung perlakuakn mertua dan suaminya, sementara Rudi, ia juga harus menanggung perlakuakn memrtua dan sitrinya.

Aini pernah bercerita kepada saya, ia tak tahu bahwa ibunya gila. Dan kalaupun tahu, ia tidak pernah mempersoalkan itu. “Kan sudah takdir, mau gimana lagi?” begitu kilahnya dengan penuh keikhlasan. Hanya saat ini ia berharap, bahwa orang-orang di sekelilingnya menghargai dia sebagai manusia, bukan sebagai perempuan yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang jiwanya terganggu. Dan ia juga ingin, orang-orang tetap memperlakukan ibunya sebagai manusia, bukan sebagai pengidap gangguan jiwa….

Tidak ada komentar:

Belajar Komputer

belajar-ilmu-komputer.blogspot.com

Mengenai Saya

Foto saya
Purwakarta, Jawa Barat
Lahir di Purwakarta, 21 Pebruari 1983. Pernah singgah di STIE Dr. KHEZ Muttaqien Purwakarta jurusan Manajemen SDM. Pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai Ketua Umum periode 2005-2006. Kini kegiatan sehari-hari mengabdi kepada masyarakat lewat PNPM Mandiri Perdesaan, sebagai Ketua UPK Kec. Kiarapedes Purwakarta. Aktif juga mengajar TI di MTs YPMI Wanayasa, Membuka Kursus Komputer serta Jasa Pelayanan Masyarakat di Bidang TI. Sekarang tengah merintis usaha di bidang pertanian dan peternakan. Selain itu untuk konsumsi pribadi, tengah giat menulis novel. Satu nivel telah selesai dan sekarang tengah mencari penerit untuk menerbitkan novel tersebut.

Kurs

Berita Artis

script type="text/javascript"> kb_content = 'celebrity';

Berita Terkini