tag:blogger.com,1999:blog-48760945991410340522024-02-06T19:11:05.753-08:00TUJUH PILAR PURWAKARTACurhat, Ekspose kebudayaan kampung, TI, Bisnis, Sastra, Agama, Pendidikan, Politik, Budaya dan Senda GurauHasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-8582468032376350172010-12-11T03:01:00.000-08:002010-12-11T03:01:17.570-08:00TUJUH PILAR PURWAKARTA: "Gila Simbol" Pembangunan Purwakarta Berkarakter<a href="http://hasan-berkarya.blogspot.com/2010/12/gila-simbol-pembangunan-purwakarta.html">TUJUH PILAR PURWAKARTA: "Gila Simbol" Pembangunan Purwakarta Berkarakter</a><br /><br /><a href="http://kumpulblogger.com/smart_index.php?skbid=100454" target="_new"><img src="http://kumpulblogger.com/banner_smart.jpg" title="Produk SMART"></a><br />Produk SMART TelecomHasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-87033379575568965742010-12-11T02:37:00.000-08:002010-12-11T02:37:25.690-08:00"Gila Simbol" Pembangunan Purwakarta Berkarakter<b>Menjenguk Kekasih</b><br />
Sore ini, 11 Desember 2010. Aku baru saja pulang menjenguk seorang kekasih. Teringat akan tempat belajar usaha yang tengah kurintis, aku cepat-cepat pulang. Tentu setelah “PUAS BERCENGKRAMA” dengannya. Di toko, dua kawan tengah asyik bercanda, dan salah seorang sesekali meng-klik mouse di laptop yang saya simpan di toko. Sedikit saya penasaran, apa yang tengah ia kerjakan. Layout brosur. Ya, dia tengah mengerjakan pesananku kemarin sore. <br />
<b><br />
Strategi Penjualan</b><br />
Untuk memantapkan promosi jualanku, banyak hal kulakukan. Salah satunya menyebar brosur di tempat-tempat strategis, seperti Kantor Pos, Bank, warung-warung, tempat belanja, terminal, pasar, juga mesjid. Ya, aku kepikiran, orang yang shalat jumat di Masjid al-Jihad Wanayasa ini misalnya begitu banyak. Maka aku pasang orang untuk membagikan brosur ketika jumatan usai.<br />
<br />
<b>Brosur Laptop dan Komputer, Cash & Credit</b><br />
Tak lama, kawanku selesai membuat brosur yang kuinginkan. Design-nya bagus. Ia memang faham soal potoshop, corel draw, dan program grafis lainnya. Ia juga seri TERIMA PESANAN LAY OUT SPANDUK, BROSUR, dll. Isi brosur memuat HARGA LAPTOP, KOMPUTER, MODEM, PRINTER. HARGA LAPTOP MULAI 2 JUTAAN. HARGA KOMPUTER MULAI 1 JUTAAN. HARGA MODEM MULAI 200 RIBUAN. DI SUDUT KIRI ATAS ADA TULISAN, “CASH AND CREDIT”. Ya, sudah enam bulan saya bekerja sama dengan Leasing, Kredit Plus, PT FINANSIA PURWAKARTA. <br />
<br />
<b>Setting Modem CDMA dengan Kartu Flexi</b><br />
Lalu mereka pamitan, hendak pergi ke kota untuk menyelesaikan beberapa hal berkaitan dengan penjualan toko. Secara otomatis, bagian saya yang jaga toko. Tak apa, sebab baru saja saya beli kartu Flexi dan di toko ada modem CDMA. Untuk mengusir sepi, saya tancapkan itu modem. Saya aktifkan kartu FLEXI nya dengan cara mengisi registrasi. Saya isi pulsa Rp. 50.000. Lalu saya saya Ketik REG spasi BULANAN, dan saya kirim ke 2255. Ada konfirmasi. Ada User Name. Saya setting konfigurasinya, dan saya masukan user name barusan. OL deh. FLEXI MEMANG MURAH. DENGAN UANG Rp. 50.000, KITA BISA INTERNETAN SEPUASNYA SELAMA 1 BULAN. MURAH, BUKAN?<br />
<br />
<b>Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, Hatta, Aidit..</b><br />
Saya Online. Saya cari informasi dengan GOOGLE. Mesin pencari yang satu ini memang sangat cerdas. Dalam hitungan detik, ia bias menampilkan jutaan informasi yang saya butuhkan. Saya mencari artikel yang berkaitan dengan Tan Malaka. Sangat penasaran. Kemarin sore habis membaca beberapa buku biografi tokoh Nasional, mulai dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, hingga Aidit. Orang membedakan mereka kedalam dua kotak, tokoh kiri dan kanan. Ya, sudut pandang setiap orang pasti berbeda. Kita berbaik sangka saja, mereka adalah orang-orang yang telah mengukir sejarah dengan kapasitas mereka masing-masing. MADILOG TAN MALAKA cukup menarik.<br />
<br />
<b>Wanayasa Sejuk dan Indah</b><br />
Secara wilayah, kini kewarganegaraan saya adalah orang KIARAPEDES. Namun Kiarapedes dan Wanayasa adalah wilayah yang sama. Kiarapedes hanyalah Kecamatan Pemekaran saja. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di Kecamatan Wanayasa, terutama sejak saya belajar di MTs YPMI Wanayasa. Saya bergaul, siang malam. Saya berorganisasi. Pramuka dan PMR. Orang-orangnya santun. Mereka kebanyakan petani atau bekerja di kebun. Banyak kebun yang menjadi sumber mata pencaharian warga di sini. Kebun the luas, sawah-sawah membentang, pohon-pohon berjejer, ternak bergerombol. Wanayasa intinya kota kecil, bersejarah, dan sejuk serta indah. Udaranya masih original.<br />
<br />
<b>Taman Kota Wanayasa</b><br />
Aku duduk sambil mengetik naskah ini, melihat ke ujung jalan, sesekali ke tukang kuli tembok yang tengah mengerjakan proyek. Ya, mereka sedang membuat taman, dengan arsitektur bangunan yang konon menurut mereka adalah bangunan khas Purwakarta. Setelah H. Dedi Mulyadi, SH terpilih menjadi Bupati Purwakarta periode 2008-2013, ada banyak perubahan pembangunan, terutama di sector infrastruktur jalan. Jalan ke pelosok sekarang sudah “leucir”. Itu memang janji kampanye Bupati. Dan yang lain adalah bentuk bangunan, pagar, juga symbol-simbol lainnya. Bangunan dengan JULANG NGAPAK, pagar dengan PAGAR ATAU GAPURA KAHURIPAN.<br />
<br />
Tukang kerja masih asyik bekerja, meski hari sudah senja. Saya tak tau, kenapa di sore yang hampir malam ini mereka masih bekerja. Apakah karena mereka rajin? Semoga. Rumput sudah ditanam, bunga sudah ditata, sebagian pagar melati sudah dicat. Orang hilir mudik dengan kendaraan roda dua. Saya merasakan sebetik rindu menjalari nadi saya. <br />
<br />
<b>Rindu Berlatih Sepak Bola</b><br />
Ya, saya rindu melihat kawan saya latihan sepak bola di alun-alun Wanayasa ini. Kini mereka tak mungkin bisa latihan di sini. Padahal, mereka adalah anak-anak muda potensial. Kita sudah tau, EKA RAMDANI adalah pemain PERSIB BANDUNG dari WANAYASA. Banyak yang berbakat. Dua bulan ke ke belakang, biasanya anak-anak muda berlatih di lapangan depan MASJID BESAR AL-JIHAD ini. <br />
<br />
<b>Gila Simbol</b><br />
Sekarang tidak bisa lagi. Lapangan ini sudah dibangun, sudah dipagari bebatuan, bawahnya sudah dilapisi paping blok. Ini katanya demi Purwakarta Berkarakter. Dan ini symbol Kesundaan. Tapi benarkah orang-orang Sunda zaman dulu gila Simbol? Saya masih jarang menemukan bangunan, candi, atau peninggalan-peninggalan raja-raja Sunda dalam bentuk bangunan. Sebab itu bertentangan dengan ajaran primordialitas berbasis kearifan lokal.<br />
<br />
<b>Kontinuitas Visi Pembangunan</b><br />
Setiap Bupati terpilih tentu memiliki visi. Tapi hitungannya jangka pendek dan menengah. Saya belum bias membayangkan, apa jadinya jika dalam PEMILUKADA 2013 bupati yang terpilih adalah bupati yang sama sekali baru, bukan bupati sekarang. Akankah pembangunan yang banyak menyita symbol ini dilanjutkan? LANJUTKAN! Bisa sih, itu jika SBY yang mampu memimpin dua periode. <br />
<br />
Tapi itu persoalan politik, persoalan spekulatif. Sebagian yakin, Bupati H. Dedi Mulyadi masih dibutuhkan, karena ia pemimpin muda yang progresif, cerdas, banyak lompatan kreatif, dan sulit “diotak-atik” lawan politiknya. Ia juga begitu popular di kalangan bawah, di kampong-kampung. Maklum, hamper tiap hari ia menyusuri pedesaan, dengan model-model dan kemasan acaranya, misalnya GEMPUNGAN. Ia juga memang menyentuh pembangunan yang sulit dilupakan. Jalan berhotmik adalah kenyataan telak yang tak mudah dilupakan. Orang akan selalu mengingatnya.<br />
<br />
<b>Transformasi Nilai ke Generasi Mendatang</b><br />
Tapi seandainya Tuhan berkata lain, apakah pembangunan yang kini dibangun secara habis-habisan, dengan seabreg simbolnya, itu bisa meresap kepada generasi berikutnya? Apakah ada pembangunan berkelanjutan? Ini yang harus dijawab oleh Bupati, juga oleh orang-orang yang punya niat untuk manggung di Purwakarta. Bahwa pembangunan sebuah wilayah, jika ingin tuntas dan skematis, harus ada kesinambungan nilai dari generasi ke generasi. <br />
<br />
<br />
<b>Hidup Bermakna</b><br />
Hari sudah senja. Kini tak ada latihan sepak bola di alun-alun Wanayasa. Saya rindu mereka. Sore yang sendu. Temaram malam perlahan merenda senja. Aku duduk terpekur menerawang jingga langit seraya berdesah, TUHAN JADIKAN HIDUP KAMI BERMAKNA SETIAP SAAT..Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-30731034315673796902010-06-30T15:59:00.000-07:002010-06-30T15:59:00.372-07:00Tips Hidup Bahagia Tiap HariDi blog rahasia hidup bahagia tertulis HAPPINESS IS LOVE WHATEVER YOU GOT. Kebahagiaan itu ketika kita mencintai apa yang kita miliki.<br />
<br />
Sebuah pesan untuk hidup bahagia yang sederhana namun penuh makna. Saya sepakat dengan kalimat tersebut. Sebuah ajakan bagi kita untuk mensyukuri segar-hijaunya rumput di halaman rumah sendiri.<br />
<br />
Kira-kira apa yang bisa kita lakukan atau hal-hal apa yang membuat kita hidup bahagia setiap hari? Daftar tips berikut ini semoga bisa menjadi pengingat kita bersama sebagai upaya agar selalu berbahagia setiap hari.<br />
<br />
1. Bangun pagi-pagi. Bangun lebih awal dan berjanjilah untuk merayakan hari ini dengan tidak menyia-nyiakannya sedetikpun. Lihat cahaya mentari yang menyingsing di ujung timur sana. Seperti itu juga semangat bersinar di dada anda.<br />
2. Nikmati makan. Jangan tergesa-gesa. Cobalah sekali ini gigit dan kunyah pelah-pelan makanan anda. Dari tiap kunyahannya, rasakan betapa enak rasanya. Nikmat sekali bukan?<br />
3. ACTION-kan niat anda. Punya niat sekian lama yang tak kunjung terlaksana? ACTION-kan sekarang! Mungkin anda hendak mengunjungi sanak saudara yang sudah lama tak bersua; atau mungkin sudah lama berniat ingin mengajak jalan-jalan keluarga, ACTION-kan sekarang.<br />
4. Belajar positive thinking. Kalau anda rasa terlalu banyak dibelenggu oleh pikiran negatif, mulai sekarang coba belajarlah ber-positive thinking. Perasaaan kalau anda tidak bisa atau sering bersikap menyalahkan misal, gantilah dengan sisi positif. Perbanyak isi pikiran dengan solusi, solusi dan solusi. Kuatkan dengan kata-kata motivasi.<br />
5. Waktu jatuh cinta. Ingat bagaimana rasanya waktu anda jatuh cinta pertama kali pada pasangan anda? Coba ingat dan rasakan kembali… anda pasti jadi senyum-senyum sendiri. :D<br />
6. Tenanglah. Kalau tiap harinya biasanya anda diburu waktu, cobalah hari ini anda rileks. Hirup napas dalam-dalam. Lakukan apa yang anda suka dengan santai, tanpa ada lagi yang dirasa mengejar-ngejar anda.<br />
7. Tatap wajah anak-anak anda. Meski mungkin sekarang mereka sudah gede, coba sempatkan tatap wajah mereka dalam-dalam. Ingat bagaimana waktu mereka kecil, waktu mereka cium tangan pamit berangkat sekolah, saat mereka bisa berjalan pertama kali, dan momen-momen bahagia lainnya. Pasti anda akan teramat bersyukur dapat melihat pertumbuhan anak-anak anda dari kecil sampai besar seperti sekarang ini.<br />
8. Berbagilah. Temui orang-orang yang tak seberuntung anda. Cobalah bicara dengan mereka. Cari tahu bagaimana kehidupan sehari-hari mereka. Serta berbagilah dengan mereka. Anda pasti akan sangat bersyukur dengan keadaan anda sekarang.<br />
9. Belajar hal baru. Punya waktu luang lumayan panjang? Cobalah cari kegiatan baru yang bisa menambah keahlian anda. Bukan buat gagah-gagahan atau apa, tapi sebab anda memang dianugerahi kemampuan untuk terus meningkatkan diri.<br />
10. Cium tangan orangtua anda. Ingat betapa besar pengorbanan orangtua anda selama ini. Sedari anda kecil sampai tumbuh dewasa seperti sekarang. Bersyukurlah memiliki orangtua yang mencurahkan segenap rasa cinta dan kasih sayangnya pada anda. Tidak ada yang memiliki cinta sebesar mereka pada anda.<br />
11. Temui orang yang lebih tua. Selain orangtua anda pastinya, temui juga orang-orang yang lebih tua dari anda seperti guru anda misal. Silaturahmi yang anda jalin pasti akan bermanfaat besar. Anda bisa belajar banyak dari mereka.<br />
12. Tertawalah. Ingat kapan terakhir kali anda tertawa? Mungkin gara-gara kesibukan anda yang luar biasa dahsyat, anda bahkan sampai tak sempat untuk tersenyum. Coba cari bacaan atau tontonan yang bisa melemaskan urat syaraf anda dan TERTAWALAH lepas. :D<br />
13. Lakukan yang anda suka. Apa hobi anda? Apa kesukaan anda? Ayo lakukan sekarang. Anda sudah lama tidak melakukannya kan?<br />
14. Istirahat cukup. Agar anda punya energi cukup untuk menjalani hari anda yang menyenangkan, istirahatlah yang cukup. Ketika waktu tidur tiba, bergegaslah tempat tidur.<br />
15. Sapa. Bersikaplah ramah. Sapa orang yang anda temui. Iringi dengan senyuman.<br />
16. Kenalan. Perluas lingkungan sosialiasi anda. Perbanyak teman. Banyak teman, banyak rejeki!<br />
17. Senyumlah. Jangan malu-malu, senyumlah. Senyum membawa energi positif.<br />
18. Beri maaf. Beri maaf orang yang berbuat salah pada anda. Jangan buat hidup anda terbebani oleh dendam.<br />
19. Habis gelap pasti terang. Dalam hidup pasti ada hal-hal yang tak anda inginkan menghampiri kehidupan anda. Mungkin baru saja anda kehilangan pekerjaan anda, atau bisnis anda sedang suram, atau mungkin anda kehilangan orang terkasih. Belajarlah untuk menerimanya. Ini bagian dari hidup. Ikhlaskan. Selepas itu, kembali tegaklah berdiri. ACTION harus terus berlanjut!<br />
20. Doa. Panjatkan doa sepenuh hati. Segala macam ujian yang anda hadapi, serahkanlah pada-Nya. Tuhan tidak pernah tidur…<br />
<br />
Sama sekali tidak ada niat saya untuk menggurui anda semua. Tips di atas dimaksudkan sebagai pengingat kita bersama. Silakan anda kurangi atau tambahkan sesuai kecocokan hati anda. Tips lain boleh juga anda tambahkan dalam kotak komentar di bawah agar kita bisa belajar bersama untuk selalu hidup bahagia.<br />
<br />
Salam ACTION!<br />
NB: Jika anda suka artikel ini, silakan share ke teman FACEBOOK anda. Cukup dengan meng-KLIK link ini! Terimakasih.<br />
<br />
Oleh : http://www.jokosusilo.com/2010/05/21/20-tips-hidup-bahagia-setiap-hari/Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-28317900477898160202010-04-08T04:26:00.000-07:002010-04-08T05:00:08.800-07:00Bupati Purwakarta Kritisi PAUD"Biarkan anak-anak desa itu tumbuh alami, diasuh dan dididik oleh orang tuanya di rumah, mereka bisa bermain sesuai habitatnya. PAUD atau TK hanya pantas bagi orang tua pekerja, ketika berangkat kerja anaknya dititipkan, siang hari disusui, dan sore, ketika pulang kerja dijemput pulang".<br /><br />Itulah pidato tanpa teks Bupati Purwakarta, H. Dedi Mulyadi, SH di Gedung Negara Pemkab Purwakarta (8/4) dalam acara Rapat Kordinasi Pelaku PNPM se-Kabupaten Purwakarta.<br /><br />Bupati menjelaskan, proses pembangunan itu semestinya mengarahkan masyarakat untuk cerdas dan tercerahkan. Adapun proses pencerahan itu tidak mesti berkiblat pada Barat dengan segala modelnya, termasuk dalam pendidikan. Orang Desa harus belajar sesuai dengan kebutuhan, mentalitas, dan kultur yang seharusnya dijunjung.<br /><br />Pada kesempatan Rakor itu Bupati dengan lugas menjelaskan konsep pembangunan berbasis Lembur, dengan mengutamakan potensi-potensi lokal, khususnya pertanian yang meliputi bertanam padi, beternak unggas, ayam, ikan, dll. Semua kebijakan pembangunan ini mesti sinergis antar semua stakeholder.<br /><br />Pemerintahan yang dipimpinnya kini tengah fokus untuk melakukan perubahan dalam dua hal, pertama kultur dan struktur. Dalam kultur, ia tengah coba menyadarkan masyarakat agar bisa memberdayakan potensi-potensi di sekelilingnya. Lahan ditanami, sawah digarap, dan pertanian serta peternakan ditingkatkan. karena menurutnya, sektor inilah yang menopang kehidupan ekonomi masyarakat selama ini, termasuk ketika krisis ekonomi 1998 mendera negeri ini.<br /><br />Perilaku pilemburan ini, ia lebih detail menjelaskan, mesti ditanamkan kepada anak usia dini, agar mereka menjadi manusia sejati, bukan manusia mengambang (ka luhur teu sirungan, ka handap teu akaran). Tetapi tidak harus digiring ke lembaga pendidikan semodel PAUD, TK, dll. Ini tidak cocok. Sebab menurutnya, pendidikan model itu hanya pantas bagi orang2 yang bekerja atau karyawan di perkotaan.<br /><br />Menurutnya, play group itu tidak harus lembaga, sebab pengetahuan anak harus diarahkan ke arah universalitas, bukan diciptakan komunal-komunal di sebuah ruang bernama PAUD. Universal menurutnya, bahwa anak diajarkan untuk bermain yang ada di sekeliling rumahnya. ia bisa bermain dengan kerabat, orang tua, dan anak seusianya tanpa harus ada aturan baku dengan mengatasnamakan pendidikan.<br /><br />Namun begitu, bukan berarti ia anti pendidikan. Justru pendidikan adalah dasar manusia hidup. hanya yang harus diperbaiki adalah cara, model, serta orientasi ke depan si anak mau di bawa ke mana?<br /><br />Terkait dengan kegiatan PNPM, ia berharap pelaku di desa bisa mengajukan program-program yang selaras dengan program Daerah. Misalnya soal infrastruktur jalan dan irigasi. Sinergitas ini perlu agar percepatan pembangunan bisa realisasi serta dapat mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, khususnya di Kabupaten Purwakarta.Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-88064708135438958062010-02-14T21:23:00.000-08:002010-02-14T22:18:21.781-08:00Longsor Di Kampung Kami<span style="font-weight:bold;">Post Jurnalisme</span><br />Dulu, atau bahkan beberapa minggu yang lalu, kampungku begitu sepi. Tiba-tiba keadaan itu berjungkirbalik 380 derajat. Orang-orang hilir mudik, mulai warga biasa, jurnalis, sampai pada pejabat. <br /><br />Di televisi dikabarkan longsor disertai puluhan rumah tertimbun. Bahkan ada korban jiwa. Benarkah? Faktanya tidak sebombastis itu. Jika ratusan sawah tertimbun bongkahan batu, itu benar. Jika pohon-pohon tumbang dan terbawa hanyut, itu benar. Jika 1 rumah hanyut dan satunya lagi rusak, itu benar. Tetapi jika puluhan rumah tertimbun, apa lagi merenggut korban jiwa, itu namanya kebohongan publik.<br /><br />Memang postjurnalisme yang disampaikan Yasraf Amir Pilliang begitu. Ada semacam seolah-olah fakta tetapi bukan fakta. Ada keinginan untuk menyusufi fakta biasa-biasa menjadi luar biasa. Dampaknya, tentu interest audiens akan tersedot kepada yang seakan-akan fakta bombastis itu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Penebang Misterius</span><br />Tapi biarlah itu begitu, saya di sini hanya ingin mencatat beberapa gerundelan hati dalam memotret musibah longsor ini. Terutama setelah ada kawan yang kirim sms: "Matak oge kai di leuweung teh tong ditaluaran wae, jadi weh longsor".<br /><br />Lima belas tahun yang lalu, ketika usia saya masih kanak-kanak, saya sering pergi ke hutan, tepatnya ke lokasi di mana sekarang terjadi longsor. Di situ saya bersama kawan-kawan lain mencari kayu bakar. Apakah menebang? Tentu tidak. Dan mana berani? Kalau ada polisi hutan pasti ditangkap, disidang, dan didenda. Yang kami pungut adalah kayu-kayu kering, kayu-kayu yang siap dibakar untuk kebutuhan masak orang tua kami.<br /><br />Suatu hari kami pergi agak jauh kedalam hutan. Sampailah di sebuah dataran, orang-orang kampung kami menamainya dengan "Dataran". Di situ lokasinya memang datar, arealnya luas, pohon-pohon pinus dan kayu merah lainnya tumbuh rimbun.<br /><br />Tetapi hari ini di dataran sangat bising. Tak seperti biasanya. Padahal, biasanya yang terdengar di hutan itu cicit-cuit burung di dahan, suara binatang, atau kadal di antara rerumpunan semak-semak. Hari itu ada mesin senso, beberpa orang tak dikenal lagi sibuk membelah kayu yang diameternya segede kerbau. Ya, orang kami untuk menunjuk betapa besarnya sebuah diameter kayu biasanya menyerupakan dengan diameter kerbau.<br /><br />Kayu-kayu besar tergeletak, yang sudah dibelah dan dibentuk balok bertumpuk. Sementara beberapa orang tengah sibuk mengangkut balok itu. Saya tak berani tanya. Karena memang takut.<br /><br /><span style="font-weight:bold;"><br />Dikejar polisi hutan</span><br />Mamang saya biasa cari kayu bakar ke hutan. Hari itu hari yang apes. Ia ketahuan sama polisi hutan. Ia dikejar. Tetapi tak sampai kekejar. Namun sore harinya ada panggilan dari RK setempat. Harus bayar denda. Lalu dibayarlah itu denda.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Longsor yang mencekam</span><br />Saat ini ratusan sawah di kampungku tertimbun lumpur, bebatuan, dan kayu-kayu besar dari hutan. Rumah salah seorang warga hanyut di bawa air bah yang besar. Masyarakat panik. Hujan deras yang mengguyur menyebabkan semua kepanikan itu. Esok paginya, masyarakat tahu bahwa hutan yang ada di sebelah utara mereka longsor. Mungkin sementra waktu air terhalang oleh longsor, berkubang, lalu jebol dan sekaligus ia menghantam segala yang ada di sungai dan sekitarnya, lalu meluap ke sawah dan kebun warga.<br /><br />Siang harinya orang-orang berkerumun, ingin tahu apa yang terjadi. Mulai dari anak-anak sampai tua-renta. Anak muda dan warga sibuk membersihkan jalan. Sementara para pejabat juga datang meninjau lokasi. Pun wartawan, baik cetak maupun elektronik, baik lokal maupun nasional datang ke lokasi. Mereka ambil gambar. Mereka tanya sana-sini, mereka catat, lalu mereka muat di harian mereka atau mereka ekspose di berita-berita televisinya.<br /><br />Setelah itu beragam komentar, kritik, juga percakapan berkembang. Ada yang mengutuk, ada yang berduka cita, bahkan ada yang menyalahkan masyarakat sekitar kaki gunung. Mereka bicara serampangan : warga menebang pohon sembarangan.<br /><br />Memang ketika jaman pemerintahan Gusdur (alm) masyarakat sekitar diperbolehkan untuk menggarap areal hutan yang dekat dengan perkampungan untuk ditanami palawija, kayu-kayu produktif, dan tumbuhan lainnya. Namun setelah Gusdur lengser, ada larangan. Banyak masyarakat yang menebang pohon hasil tanamanya sendiri dipenjara.<br /><br />Kini, di areal dimana terjadi longsor, beberapa warga menanam pohon kopi. Entah siapa yang ada di balik layar enanaman kopi tersebut. Dan entah ada kaitan atau tidak antara semua rentetan kejadian di atas dengan bencana longsor yang terjadi saat ini.<br /><br />Saat ini saya berharap, bahwa hukum benar-benar ditegakkan. Pemerintah memiliki visi yang jelas, bukan hanya menjadikan bencana sebagai komoditas politik. Semua warga Purwakarta bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini, bukan hanya saling tuding dan menyalahkan, apalagi jika rakyat yang selalu menjadi kambing hitam dari setiap persoalan.<br /><br />Saat ini mendung masih menggelayut. Warga sekitar masih panik hawatir longsor susulan datang. Menurut peneitian, di hutan sana masih ada retakan yang memungkinkan longsor susulan. Mudah-mudahan semua pihak bisa berfikir positif untuk menyelesaikan masalah ini. Dan mudah-mudahan kita bisa belajar dari alam, bahwa alam juga layaknya manusia yang mesti diperlakukan selayaknya.<br /><br />Mohon doanya semoga tidak terjadi longsor susulan.Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-36648667388197268762010-02-06T20:20:00.000-08:002010-02-06T20:23:43.805-08:00Akhirnya Mereka Tahu, Ibuku Gila...Memiliki pasangan hidup yang serasi adalah dambaan setiap orang. Banyak hal dilakukan orang untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal. Mulai dari memilih-milih pasangan, meneliti, sampai mencoba..<br /><br />Parameter yang lumrah dijadikan pertimbangan adalah cara berfikir, dimensi spiritualitas, agama, kebiasaan, kepribadian, materi, fisik, sampai pada jejak rekam di masa lalu, termasuk jejak rekam keluarga (keturunan). Untuk mendapatkan pasangan yang ideal itu orang rela melakukan apa saja.<br /><br />Lalu apa jadinya jika ternyata semua hasil riset awal seseorang ketika menilai calon pasangan hidupnya tidak sesuai lantaran berbagai hal, misalnya lantaran ketidakterbukaan pasangan kita sewaktu pacaran.<br /><br />Dimungkinkan banyak alternatif sikap yang akan muncul, namun dua diantaranya kontras dan hampir mewakili keseluruhan sikap : 1. Kecewa dan meminta berpisah, 2. Menerima kenyataan, karena sudah terlanjur.<br /><br />Kedua sikap di atas umum dan manusiawi, lantaran harapan awal setiap orang sudah sedemikian menggebu-gebu, tiba-tiba ia mendapatkan yang tidak sesuai, maka ia tentu akan kecewa. Tetapi ketika setiap diri kita menyadari kelemahan setiap manusia dan ketiadasempurnaan, maka ia akan menerima kenyataan, sepahit apapun kenyataan itu.<br /><br />Secara teoritis, secara konseptual, saya memandang persoalan memilih pasangan, termasuk sikap setelah pasangan yang kita pilih bukan yang kita harapkan, adalah demikian. Namun faktualnya lebih rumit dan berliku. Di bawah ini saya sajikan cerita harian saya ketika memotret seseorang yang masih kerabat jauh, tetapi pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan cukup membuat diri saya tertegun : Ternyata inilah hidup! <br /><br />Dia, sebut saja Aini, seorang perempuan kampung. Hidup di bawah naungan orang tua angkatnya. Ia diangkat semenjak tali ari-ari dirinya belum digunting sama dukun anak. Ia memiliki seorang kakak, laki-laki, usianya terpaut 8 tahun. Sekolah sampai MTs, setingkat SMP. Ia sangat disayangi oleh orang tua angkatnya. Pas mau melanjutkan sekolah ke SMA, ibu angkatnya meninggal dunia. Lalu perempuan itu tak jadi sekolah. Ia malah bekerja sebagai penjaga warung di Kampus UPI Purwakarta.<br /><br />Belum lama bekerja, ia dipanggil kerabatnya. Ada seseorang yang hendak melamarnya. Akhirnya, perempuan itu, atau saya sebut saja Aini, menikah di usia yang cukup belia. Kakaknya menjadi wali pernikahan, sementara kakaknya sendiri belum menikah.<br />Setahun menikah, ia hamil. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan. <br /><br />Sampai usia bayinya sepuluh hari, tak ada persoalan. Setelah hampir sebulan dari melahirkan, mertua laki-laki bertanya, kenapa tidak ada orang tua Aini atau kerabat lainnya yang menjenguk? Dari sinilah titik awal persoalan hidup yang rumit itu muncul.<br /><br />Setelah ditelusuri oleh keluarga lelaki, atau bagi Aini merupakan mertua, ternyata keluarga lelaki Aini menemukan fakta yang mencengangkan. Mereka baru tahu, ternyata ibu Aini mengalami gangguan jiwa.<br /><br />Keluarga suami Aini tak terima dengan kenyataan ini. Mereka ingin menceraikan Aini. Suami Aini juga menjadi dingin. Aini tersudut. Padahal bayi mungil mereka begitu lucu dan senantiasa tertawa. Sampai sekarang, Aini sering diperlakukan kurang layak. Sementara ibu dan bapak mertua, serta kerabat-kerabat lainnya tidak pernah datang ke rumah Aini. Mereka merasa terhina jika harus memiliki menantu keturunan orang gila.<br /><br />Lima bulan setelah Aini melahirkan, Rudi, kakak Aini menikah. Rudi juga hidup dibawah asuhan orang tua angkat. Rudi menikah dengan orang terpandang. Sebab orang tua Rudi juga mantan Kepala Sekolah. Tiga bulan perjalan hidup rumah tangga mereka mengalir tanpa masalah. Di bulan keempat, keluarga istri Rudi tahu bahwa ibu Rudi adalah orang gila. Mereka tak terima. Lalu sampai kini, istri Rudi sering memperlakukan Rudi dengan sikap kasar, bicara yang kotor, dan perlakukan-perlakuan tak manusiawi lainnya.<br /><br />Saya tak tahu, kisah apa saja yang akan mereka bukukan, kedua kakak beradik itu ke depan dalam menjalani hidupnya sebagai suami-istri? Aini, sang adik harus menanggung perlakuakn mertua dan suaminya, sementara Rudi, ia juga harus menanggung perlakuakn memrtua dan sitrinya.<br /><br />Aini pernah bercerita kepada saya, ia tak tahu bahwa ibunya gila. Dan kalaupun tahu, ia tidak pernah mempersoalkan itu. “Kan sudah takdir, mau gimana lagi?” begitu kilahnya dengan penuh keikhlasan. Hanya saat ini ia berharap, bahwa orang-orang di sekelilingnya menghargai dia sebagai manusia, bukan sebagai perempuan yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang jiwanya terganggu. Dan ia juga ingin, orang-orang tetap memperlakukan ibunya sebagai manusia, bukan sebagai pengidap gangguan jiwa….Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-24182983569753956712010-01-29T09:46:00.000-08:002010-02-11T21:50:07.039-08:00Mengikis Mental Pengemis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEJLZ_VcZSdMUc9RNDnNKWZVpGDZhyphenhyphenvAeGlLScIxcIW2W_pwp0I9dQEsrJux4k93yDURhBuNelGHjN3qBlWgtQbDc3SiZmkKj2b8HlyqNAQqZ7_Bqb00RhIZRNdK6bIP62Vjp3htHuAac/s1600-h/PENGEMIS+BARU.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 241px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEJLZ_VcZSdMUc9RNDnNKWZVpGDZhyphenhyphenvAeGlLScIxcIW2W_pwp0I9dQEsrJux4k93yDURhBuNelGHjN3qBlWgtQbDc3SiZmkKj2b8HlyqNAQqZ7_Bqb00RhIZRNdK6bIP62Vjp3htHuAac/s320/PENGEMIS+BARU.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5437229727865044338" /></a><br />"Mengemis", dalam maknanya yang tekstual, ia menggambarkan satu kondisi mental yang kurang bermartabat. Konotasinya jelas kurang baik. Kecuali, jika "mengemis" mengalami pemuaian makna dan dalam kontekstualisasi tertentu, misalnya "mengemis" harapan pada hidup atau pada Yang Maha Hidup.<br /><br />Hari ini, potret pengemis bukan saja pada fenomena sosial yang telah menjadi sengkarut persoalan pemerintah, tetapi ia telah merambah berbagai belahan dan dimensi hidup, termasuk sudah merasuki berbagai sudut karakter dan mental masyarakat di berbagai segi.<br /><br />Oknum pejabat banyak yang tidak sungkan untuk melebarkan telapak tangannya agar diselipi amplop berisi fulus, ceritanya untuk transport. Sementara orang-orang tak dikenal yang mengatasnamakan wartawan, hilir mudik ke desa-desa, sedikit seolah bertanya tentang A atau B, lalu mereka meminta ganti ongkos untuk pulang. Ini di ranah akar rumput, di pelosok yang kental dengan nuansa kompleksitas masalah sosialnya.<br /><br />Sementara di atas, para elit-elit tidak sungkan untuk "menjual" dirinya demi kepentingan. Anak muda juga mahasiswa juga tak sungkan-sungkan menengadahkan tangannya kepada jaringan, patron, atau kepada abang-abangnya agar ia diberikan kemulusan jalan dalam meraup kenikmatan hidup.<br /><br />Sudah sebegitu sempitkan dunia ini sehingga jalan keluar dari semua sengkarut hidup kita harus diselesaikan lewat kebaikan dan kemurahan orang lain? Kupikir, jika bangsa ini ingin bangkit, maka pertama-tama ia harus menguras dan mengikis habis mental-mental pengemis seperti tadi. Lalu dengan segera menggempur dan memorak-porandakan mental itu dan menggantinya dengan mental kreatif dan mandiri.<br /><br />Kreativitas adalah bagian absolut dari eksistensi manusia, dan ia sudah merupakan paket (bundling) dari Allah SWT. Dengan ini, maka wajah bangsa yang senantiasa mengemis harus dirubah dengan mental kreatif, mental "nalaktak", mentak "motekar", agar kita bisa keluar dari jeratan kemiskinan, ketertindasan, ketertinggalan, dan keterjajahan orang lain.<br /><br />Jika kreativitas adalah produktivitas kita, maka kemandirian merupakan output sekaligus wujud pengejawantahan mentalitas kita yang bermartabat. Pada fase ini, kita tak akan membiarkan diri kita ditindas, dijajah, diintimidasi dan diinjak-injak harga diri kita. Kita akan menjadi manusia yang disegani, dihormati, dan diperlakukan layak, baik dalam kaca mata individu, maupun dalam perspektif sosial kemasyarakatan.<br /><br />Hanya sayang, kita tak pernah berfikir bahwa kita adalah raksasa yang syarat potensi, kekuatan dan peluang. Kita jarang percaya diri, sehingga ketauhidan dalam makna keyakinan laik dipertanyakan. Kita lebih percaya pada apa yang dikatakan orang lain, dalam takaran tertentu, ketimbang naluri, insting, serta kepercayaan yang ada dalam diri kita. Kita lebih rela memasrahkan diri kita diatur orang lain, ketimbang kita mengatur diri sendiri. Kita lebih asyik diberi ketimbang mencari atau memberi. Kita lebih asyik mengejar-ngejar patron atau senior kita ketimbang mencoba, memulai, atau memutuskan untuk bertahap hidup, meski sederhana dan kecil. Kita lebih enak tertawa dan disuapi, ketimbang mencari sendiri dan mandiri.<br /><br />Akhirnya kita merasa hebat duduk disamping orang-orang besar, disuruh A atau B, ketimbang ia memosisikan diri sebagai raja, meski raja kecil. Saya teringan semboyan kawan saya, lebih baik menjadi kepala kucing daripada menjadi ekor gajah. Ini benar, inilah semangat membangun kualitas diri yang hebat, yang memungkinkan semua potensi yang kita miliki menjadi berarti dan bermanfaat.<br /><br />Kini saatnya kita rubah, kita mulai dari diri kita, kita coba hargai diri kita secara proporsional dan percaya diri, kita dorong diri kita untuk tumbuh menjadi besar, kita hiraukan ketergantungan-ketergantungan, kita mandirikan diri kita, kita tumbuhkan kreativitas kita, meski kecil, jika itu adalah buah karya kita, maka dunia akan lebih menghargai jerih payah kita ketimbang besar tapi hasil jiplakan atau uluran tangan orang lain.Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-82481558195346067542010-01-25T00:00:00.000-08:002010-01-25T00:09:28.000-08:00"Bertarung" Merebut Kursi Ketum HMI Purwakarta“Salam. mohon doa dari kanda sekalian… Insyaallah dinda akan bertarung d arena konfercab himpunan mahasiswa islam (HMI) cabang purwakarta pada tanggal 31 januari 2010. wassalam.”<br /><br />Hari ini, tanggal 25 Januari 2010 tepat pukul 12.04.12 saya mendapat sms dari seseorang. Isi sms-nya persis dengan yang saya tulis di atas. Bahkan, ejaan, tanda baca, pun persis saya translate kedalam tulisan ini. Entah karena kebetulan atau tidak, yang jelas biasanya kalau saya mengutip sms kedalam sebuah tulisan, selalu saya tulis seadanya, persis, satu pun tidak ada yang saya dirubah.<br /><br />Saat ini sebenarnya saya tengah mempersiapkan pertanggungjawaban uang program kepada masyarakat sebesar Rp. 900.000.000. Ada sekitar 20 rupa laporan yang harus saya buat, termasuk RAB dan proyeksi di tahun 2010. Mendapat sms di atas, saya pending dulu itu laporan, lalu saya menulis catatan ini. Mengapa? Lantaran ada beberapa hal yang menggelitik nalar saya.<br /><br />Yang menggelitik itu sebenarnya hanya dalam satu kata, “bertarung”. Bertarung? Ha..ha… Kaya pemain judo atau pesilat saja. Lima tahun silam memang saya juga pernah mengikuti ilmu bela diri pencak silat. Waktu itu di Pesantren Wanayasa. Sang pelatih selalu mengingatkan, berulang-ulang, bahwa apa yang tengah dipelajari bukan untuk benar-benar digunakan dalam “pertarungan” secara fisik, tetapi bagaimana “bertarung” melawan emosi (nafsu) kita sendiri.<br /><br />Selanjutnya, “bertarung” dalam konteks di atas menjadi menarik lantaran ia bukan variabel yang independen, berdiri tanpa tautan dengan kata yang lainnya. “Bertarung” dalam sms kader tadi diembel-embeli dengan “konfercab”, “mahasiswa”, dan “Islam”.<br /><br />Jelas, dalam nalar logis dan sadar, bahwa “bertarung” di atas bisa menjelaskan satu bentuk dinamika organisasi kemahasiswaan yang lahir tahun 1947 lalu itu. Namun, tendensi “bertarung” berkonotasi kurang benar, lantaran konsensus kebahasaan telah menjembatani jurang antara pemaknaan dan lahiriyah sebuah bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bertarung adalah proses konfrontasi fisik antara satu individu dengan individu yang lain. Dengan begitu, apa yang dikatakan oleh kader di atas, tidak relevan, mengingat korelasi verbal dengan konteks makna sesungguhnya amat jauh.<br /><br />Secara kontekstual, bahwa dinamika organisasi tidak harus kemudian membentuk satu spirit baru dalam bentuk yang frustatif dan heroik, misalnya “bertarung”. Karena imajinasi “tarung” tidak sebombastis fakta sesungguhnya. Ia hanya buble, hanya gelembung linguistik yang di dalamnya disusupi semangat fanatis dan sektarian golongan atau individu. Sebab seungguhnya, apa lagi dalam lingkup internal organisasi, tidak ada lawan yang harus diposisikan di “sana”, sementara saya “di sini”. Semuanya adalah di sini dan di sana, tidak ada aku dan kau, yang ada adalah kita semua.<br /><br />He…. Tetapi, empat tahun yang lalu, saya, Hasan Sidik, juga pernah mengirim sms serupa kepada para alumni dan senior, nadanya hampir persis, cuma tidak ada kata “tarungnya” saja. Lawan “tarung” (Eit, sudah ikut-ikutan pake kata tarung segala, dasar lidah! Mudah keseleo) saya waktu itu senior saya sendiri. Saya pikir waktu itu, sms demikian adalah bagian dari usaha seorang kader untuk coba mengukur kualitas diri dan bagaimana seorang calon ketua umum, apa lagi Ketua Umum HMI, bisa diterima oleh semua pihak.<br /><br />Setelah perseteruan yang sengit, (eee… maaf saya juga menggunakan kata “perseteruan sengit”, padahal faktanya tidak berseteru dan tidak begitu sengit), saya terpilih sebagai Ketua Umum. Perasaan keren, bangga, hebat, jadi pemimpin gitu lhoh. Tetapi, hari-hari yang saya jalani setelah itu, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Amanah besar yang saya pikul tidak selalu dapat saya tunaikan. Berat. Banyak cercaan. Listrik sekretariat telat bayar saja jadi tema sentral para alumni dan kader-kader yang tak sepersepsi. Tapi minimal, saya bersyukur pernah merasakan bagaimana menjadi individu yang secara formalitas didaulat oleh kawan-kawan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta periode 2005-2006. (Perasaannya mendebarkan…)<br /><br />Nah, ketika beberapa menit yang lalu ada kader yang sms, saya juga tergelitik. Terpikir untuk menguji nalar sendiri, menganalisis, lalu ingin mengkritik. Setelah mengkritik, jadi ingin tertawa. Ha..ha..ha.. Saya juga dulu begitu, Dinda…..! (Ala…h.. pake Kanda-Dinda segala. Amang-amangan wae meureun!).<br /><br />Yakusa HMI Purwakarta, tolong gelorakan semangat perkaderan dan semangat membangun insan akademis, pencipta, pengabdi yang diridhoi Allah SWT….Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-85544854568425113382010-01-23T16:29:00.000-08:002010-01-23T17:25:10.732-08:00Membaca Peluang Usaha<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place" downloadurl="http://www.5iantlavalamp.com/"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City" downloadurl="http://www.5iamas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Insting pebisnis yang tajam dalam mencium peluang bisnis biasanya bisa melihat kondisi status quo, kondisi dimana orang-orang sudah terbiasa dengan sebuah kebudayaan atau perilaku. Agar status quo bisa menjadi peluang, maka pebisnis harus 'mengedukasi' para calon pelanggannya agar mereka semua mau melakukan 'transisi'. Dengan modal keuletan dan kreativitas dalam memasarkan produknya, pebisnis tersebut tentunya akan berhasil menguasai pasar.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal">Alkisah pada suatu waktu ada seorang pedagang baju yang datang ke sebuah desa. Setibanya di desa, dia melihat para penduduk desa tersebut badannya penuh dengan hiasan tattoo dan tidak memakai baju sama sekali.
<br />
<br />Kecewa, dia kemudian menulis <st1:place st="on"><st1:city st="on">surat</st1:city></st1:place> pada istrinya, "Istriku, tidak usah mengirimi aku stock baju untuk dijual di desa ini. <span style="" lang="FI">Disini tidak ada peluang bisnis. Saya akan pergi ke desa lainnya."
<br />
<br />Seminggu kemudian, datanglah pedagang baju yang lain. Dia pun melihat hal yang sama dengan pedagang sebelumnya, tidak ada seorang pun penduduk desa yang memakai baju.
<br />
<br />Melihat hal tersebut, kemudian dia mengirim surat pada istrinya, "Istriku, saya telah menemukan pasar baru untuk barang-barang kita. Tolong siapkan baju pria, wanita dan anak-anak. Desa ini akan menjadi pasar yang sangat besar untuk usaha kita. Saya yakin usaha kita akan menjadi maju disini."
<br />
<br />Kenapa pedagang kedua tidak segera meninggalkan desa tersebut sebagaimana halnya pedagang pertama dan malah meminta istrinya untuk menyiapkan banyak baju?
<br />
<br />Hal yang mendorong pedagang kedua untuk tetap bertahan adalah keberaniannya untuk mengambil resiko dan keluar dari zona nyamannya. Pedagang pertama merasa tidak nyaman ketika berada di desa tersebut karena merasa tidak yakin barang jualannya akan laku terjual. Itu karena dia merasa hanya akan membuang-buang waktu saja bila dia tetap tinggal di desa tersebut, sehingga dia memutuskan untuk pergi ke desa lainnya.
<br />
<br />Tetapi hal yang paling membedakan pada kedua pedagang tersebut adalah dalam hal ketajaman dalam penciuman peluang bisnis. Pedagang pertama hanya mampu melihat 'kue' yang sudah terletak di atas meja, sedangkan pedagang kedua mampu melihat 'kue' yang masih tersembunyi. Padahal apabila 'kue' sudah terletak di atas meja, maka akan banyak orang yang punya keinginan untuk memiliki atau setidaknya mendapat bagian dari kue tersebut. Sedangkan kue yang masih tersembunyi tentunya hanya akan dinikmati oleh orang yang menemukan kue tersebut, orang lain hanya akan mendapat sisa atau remah-remahnya saja.
<br />
<br />Seorang yang tajam dalam mencium peluang bisnis biasanya bisa melihat kondisi status quo, kondisi dimana orang-orang sudah terbiasa dengan sebuah kebudayaan atau perilaku. Pedagang kedua berani 'menantang' budaya orang desa tersebut dan menawarkan baju pada penduduk desa.
<br />
<br />Untuk memperlancar usahanya, pedagang kedua tentunya harus 'mengedukasi' para calon pelanggannya agar mereka semua mau melakukan 'transisi'. Dengan modal keuletan dan kreativitas dalam memasarkan dagangannya, pedagang kedua tersebut tentunya akan berhasil menguasai pasar pakaian di desa tanpa baju tersebut.
<br />
<br />Sepertinya memang berat, tetapi tentu hasilnya akan sesuai dengan usaha yang telah dikeluarkan.
<br />
<br />Di era yang semakin kompetitif dan informasi yang sudah tersedia, sekarang mana yang akan Anda pilih, kue yang sudah ada di atas meja atau yang masih tersembunyi? Kalau Anda memilih kue yang ada di atas meja, siapkan sumber daya Anda sebaik mungkin untuk bertarung dengan para kompetitor. Bila Anda memilih untuk mencari kue yang masih tersembunyi, carilah kondisi status quo, dan rubahlah kondisi tersebut ke arah yang Anda inginkan!</span></p><p class="MsoNormal">
<br /></p><p class="MsoNormal">(By Adhi Nugroho)
<br /><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-2119611415744139592009-12-01T23:48:00.000-08:002009-12-02T00:32:37.278-08:00Bertahan Hidup Dengan Poduktivitas dan Kerja Keras<div style="text-align: justify; font-family: georgia;">Banyak hal yang bisa dilakukan oleh manusia untuk mempertahankan hidupnya di dunia ini, baik dari segi mental maupun material. Soal harga diri, soal citra dan reputasi, ini menjadi kebutuhan puncak jika kita kaitkan dalam piramida kebutuhan manusia. Manusia akan mempertahankan sedemikian rupa jika sudah menyangkut harga diri dan kehormatan. Beberapa hari yang lalu kita lihat rombongan elit di Jakarta, Hatta Rajasa dkk. melaporkan dugaan pencemaran nama baik mereka oleh salah seorang demonstran. Mereka tak terima dituding yang bukan-bukan, apa lagi tudingan itu akan meruntuhkan citra dan reputasi mereka sebagai pejabat tinggi negara.<br />Sementara soal material, tidak sedikit dari kita yang terus banting tulang untuk mengais karunia Tuhan, melalui usaha-usaha kreatifnya, mungkin juga sesuai naluri atau instingnya. Insting atau naluri menjadi daya dorong vital bagi manusia untuk melakukan apapun demi mencukupi kebutuhan hidupnya, terutama dari sisi materi. Fakta ini sejalan dengan sejarah kemanusiaan kita, terutama jaman pra sejarah yang menampilkan lakon manusia lewat instrumen primitif, tetapi subtansinya hampir sama, mereka mengikuti apa yang dikatakan oleh kata hati mereka.<br />Sayang, dua uraian di atas kadang tidak demikian adanya. Manusia yang sudah dibekali akal fikiran untuk bertahan di rimba semesta ini, kadang tidak mendayagunakannya sedemikian rupa. Malah yang banyak adalah aktivitas-aktivitas pasif, tidak roduktif, dan hanya berharap dari yang lain. Padahal, instrumen akal adalah modal utama manusia untuk mempertahankan diri dari kehidupan serta segala persoalan di dalamnya.<br />Tidak usah kaget jika ada manusia yang coba dengan sekuat tenaga menguras pikiran, energi, keringat, dan ototnya demi sesuap nasi. Buruh-buruh kasar tak pernah mengenal teriknya mentari. Mereka siap dipanggang oleh kenyataan pahit, bahwa mereka harus tetap eksis, apapun caranya. Tetapi di sisi lain, ada juga manusia yang hanya ongkang-ongkang kaki, duduk di kursi, melamun, lalu tidur pulas seolah tanpa beban. Entah dari mana mereka mencukupi kebutuhan hidupnya. Mungkin bisa pinjam, punya warisan, disupply oleh orang tua, kerabat, atau bahkan patner hidupnya.<br />Hanya persoalan cara, kadang orang dihadapkan pada norma-norma dan moralitas. Ada batasan etis dan estetis yang mesti menjadi rambu-rambu. Artinya tidak semua cara kita lakukan, tetapi lakukan apapun yang dapat dilakukan, selagi dalam koridor etis, tidak merugikan orang lain, dan bukan perbuatan amoral yang merugikan tatanan keadilan serta kewibawaan martabat manusia. Jelas produktivitas dan aktivitas yang mesti kita pacu sekuat dan sekeras tenaga itu ada dalam bingkai moralitas. Tidak melanggar aturan hukum, tidak melanggar kode etik, estetika, dan aturan moral. Seperti korupsi, menyuap, memeras, atau mencuri. Cuma sepintas lalu soal korupsi ini produktivitas yang amoral, orang memiliki keinginan, tetapi dengan cara-cara yang bejat.<br />Dalam kaitan ini saya menemukan fenomena unik dan menarik. Kadang orang-orang di pelosok, mereka mempertahankan hidup benar-benar paripurna. Mereka menguras pikiran, keringat, tenaga, juga otot-ototnya. Mereka melakukan, meski itu berat dan terkesan kumuh, yang penting halal. Di sebuah desa saya menemukan seorang nenek tua yang tengah memecah batu untuk dibuat potongan batu split. Entah seberapa signifikan pekerjaan seberat dan sekasar itu mencukupi kebutuhan dan tuntutan hidup mereka. Tapi mereka ikhlas, ridho, walau kecil asal halal dan baik.<br />Saya pikir menarik dicermati, suatu pagi, masih pagi buta, segerombolan anak muda nongkrong di sisi jalan, memetik gitar, lalu tertawa terbahak. Semiskin itukah produktivitas dan daya pikir mereka. Padahal menurut sebuah hadits, pagi adalah pintu dimana rizki dan karunia Tuhan dibuka selebar-lebarnya. Jika kesadaran fundamental tentang pentingnya kerja keras dan produktivitas, saya pikir malas-malasan akan menjadi muuh utama hidup kita, generasi baru di milenium ini. Nenek-nenek renta saja masih sanggup mengayunkan palu untuk membelah batu, apakah kita secengeng ini?<br /></div>Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-77866571242597589002009-11-21T04:28:00.000-08:002009-11-21T05:10:48.878-08:00MENGABDI ATAU KULI?<div style="text-align: justify;"><span style="font-size:180%;">H</span>ari Ahad besok, 22 November 2009 mungkin merupakan hari yang mendebarkan bagi kawan-kawan kita yang akan mengikuti Tes CPNS di Kabupaten Subang. Pasalnya, mereka sejak jauh-jauh hari telah menunggu kesempatan emas tersebut. Ketika edaran tes itu muncul, mereka yang berminat untuk mengikuti tes tersebut disibukkan oleh berbagai aktivitas, mulai dari membuat lamaran, membuat kartu kuning (kartu pencari kerja), membuat surat kelakuan baik, meminta SK mengajar, sampai menyiapkan amplop surat, perangko balasan, dan mengirimkannya ke PT POS. Mereka juga menghitung budget, baik untuk persyaratan maupun untuk transportasi.<br />Setelah semua persyaratan mereka lengkapi dan dikirimkan melalui POS, beberapa hari kemudian mereka disibukkan oleh berbagai aktivitas lain. Mulai dari membaca buku psikotes, contoh-contoh soal Tes CPNS, dan berbagai materi lain, baik yang didapat dari meminjam ataupun mencari-cari di internet. Tak hanya disitu, psikologis mereka juga dihantui oleh harap-harap cemas, apakah lamaran mereka diterima dan mendapat balasan atau tidak ada kabar sama sekali. Saat-saat ini pun begitu mendebarkan. Mereka tak enak duduk. Mereka bertanya ke Tukang POS, ke teman-teman guru yang lain, dan ke siapa saja yang dikira pantas untuk ditanya. Apa yang terjadi setelah penantian yang lumayan menyita kejiwaan mereka?<br />Jika mereka mendapat balasan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) berupa undangan untuk tes disertai kartu tes, tempat dan nomor, mereka sedikit gembira. Tetapi yang lebih menjadi beban adalah, apakah melalui tes nanti nasib mereka akan berubah dari sebelumnya? Ini yang lebih menekan kejiwaan lagi.<br />Apa lagi menjelang tes semacam itu selalu ada rumor jual beli, uang pelicin, atau ketidaktransfaransian dari para pejabat terkait. Ini tentu tambahan pikiran yang harus ditanggung oleh mereka para pelamar. Tapi dari semua rangkaian penuh dinamika itu, akhirnya mereka akan datang pada waktunya, membawa pensil 2B, penghapus, juga sekantong harapan, bahwa setelah tes nanti mereka akan hidup dalam dunia yang baru, dunia dimana dirinya sebagai pendidik benar-benar paripurna dalam menyebarkan pengetahuan dan moralitas kepada calon-calon generasi masa depan. Penulis berharap, setiap harapan manusia, termasuk para peminat CPNS, agar dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa...<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Beberapa Fakta<br /></span>Hanya ada hal yang menggelitik penulis, terutama setelah mencermati berbagai fenomena dan fakta di lapangan. Misalnya, opini yang ditulis oleh salah seorang pemerhati pendidikan, Ki Supriyoko, di harian Kompas tanggal 20 November 2009, bahwa kesejahteraan guru itu tidak lantas meningkatkan prestasi murid-muridnya.<span style="font-weight: bold;"> </span>Padahal, motip awal para guru meningkatkan kesejahteraan, baik melalui tes CPNS ataupun sertifikasi, adalah agar mereka konsentarasi dalam menggodok anak didiknya. Hasil survei, hanya sedikit efek yang diterima murid dari sejahteranya guru. Padahal, beberapa kalangan selalu mengeluh, bagaimana bisa mengajar dengan baik kalau kesejahteraan guru diabaikan oleh pemerintah?<br />Kemudian soal sertifikasi. Ada beberapa kalangan yang menilai bahwa proses sertifikasi itu juga faktanya tidak lantas meningkatkan kompetensi guru. Padahal, seyogyanya program tersebut bisa memacu para guru agar berprestasi, memiliki kemampuan lebih, dan dapat meningkatkan prestasi para siswanya. Yang terjadi adalah, para guru berbondong-bondong menyusun portofolio atau mengikuti berbagai diklat, meski ia juga menelantarkan kewajiban sakralnya yaitu mengajar, demi mendapat sertifikat. Setelah itu mereka berharap mendapat gaji yang setara, jika ia bukan PNS, atau menjadi berlipat jika ia PNS.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Mengabdi atau Kuli?</span><br />Tiga kata ini lahir bukan dari pikiran saya sendiri, meski subtansinya sama dengan yang selama ini saya pikirkan. Ketika hujan mulai reda, saya dengan kawan, atau apalah sebutan yang layak baginya, berbincang santai sambil berseloroh, dan sesekali bersenda gurau. Ia adalah seorang penyuluh Departemen Agama di Kecamatan Kiarapedes-Purwakarta. Ia jebolan perguruan tinggi dengan basis keilmuan syari'ah. Pada waktu itu masuk dalam topik tes CPNS. Pertama-tama ia mengkritisi agar saya selalu tawadhu dalam memandang status PNS. Pasalnya, selama ini saya selalu antipati terhadap status semacam itu. Atau bahasa lainnya, saya tidak berminat, dan disampaikan dalam bahasa yang mungkin agak radikal. Ia menyarankan, apalagi saya masih muda, agar hidup di jalur tengah, mempersiapkan segala sesuatu, termasuk jika ada peluang, jangan pernah menunda kesempatan. Ngobrolnya tidak berujung. Saya selalu membantah, berkelit, dan membalas konsepnya.<br />Akhirnya ia berkata, "ya udah, niatnya jangan untuk mengabdi atau apapun pada negara, niatkan saja menjadi PNS itu sebagai kuli". Sebab menurutnya, demi apa kita harus mengabdi pada negara, kalau toh kenyataanya kita semua berharap banyak dari negara. Bohong besar ketika banyak orang menyebut bahwa jiwa raganya dipersembahkan untuk agama, bangsa dan negara. Faktanya, mereka lebih banyak meminta, berharap, bahkan mengeksploitasi dari negara. Jika benar mereka memiliki semangat pengabdian, mereka tidak pernah akan protes ketika negara mengalami defisit, dan negara hanya membayar separuh gaji pegawainya. Faktanya, banyak para guru yang berbondong-bondong turun ke jalan demi menuntut transportasi, kenaikan gaji, atau apapun dalihnya. Termasuk para menteri juga ramai-ramai ingin gajinya dinaikan. Apa makna dari semua ini? Dimana kita memosisikan kata "mengabdi" itu implementasinya?<br />Yang ada kita itu menjadi karyawan negara, lalu berkedok dibalik pengabdian, padahal sebenarnya kita sedang memperhitungkan sekecil apapun keringat kita yang telah mengucur akibat aktivitas kenegaraan kita, demi uang, demi kesejahteraan, demi kehidupan individualistik kita sendiri.<br />Maka saya sependapat dengan penyuluh agama itu, bahwa saat ini kita tengah kuli, seperti tukang kuli lainnya, kepada negara dengan identitas kita sebagai pegawai negeri yang dalam pasal-pasal kepegawainnya dicantumkan diktum pengabdian yang wajib dilakukan oleh para pegawainya terhadap negara.<br /><span style="font-weight: bold;"></span></div>Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4876094599141034052.post-44109593535720184522009-10-10T17:48:00.000-07:002009-10-10T18:10:50.812-07:00Merebaknya "Ilmu Sapi"<p style="text-align: justify;">Kebanyakan dari kita menganut “ilmu sapi”, istilah Sunda yang dialamatkan kepada orang yang hidup bergantung pada bagaimana angin bertiup. Mafhum, kondisi ini lantaran pengaruh lingkungan sosial begitu kental dalam memengaruhi perilaku kita. Tetapi saya menyadari, setelah mengkaji berbagai literatur, bahwa kesuksesan itu terletak dari keinginan yang kuat untuk melakukan apa yang orang lain tidak lakukan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sebagai orang yang tidak memiliki “pekerjaan”, setiap minggu saya menyempatkan waktu sebanyak 12 jam pelajaran x dua hari untuk berbagi dengan adik-adik saya di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Ketika istirahat, dalam suatu waktu saya dipanggil oleh salah seorang TU sekolah. Ternyata mengisi formulir, entah untuk apa. Setelah saya tanya, formulir itu untuk isian sertifikasi.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sertifikasi? Saya kaget bukan main. Sebab, saya tidak memiliki ketertarikan untuk mengikuti ritual-ritual semacam itu. Kenapa? Bukan lantaran saya sombong, tetapi saya tidak ingin menyandarkan hidup saya pada posisi-posisi semacam itu. Saya selalu bilang pada teman-teman, saya tak berminat untuk jadi PNS, sebuah profesi yang sangat disakralkan di lingkungan sosial kita. Apalagi sertifikasi? Yang saya inginkan adalah berbagi dengan adik-aik saya secara paripurna. Itu saja.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Selain itu, saya juga punya pertimbangan lain. Berangkat dari peristiwa menyedihkan selepas lulus kuliah, saya menenteng map berisi lamaran kerja kemana-mana. Ke Bandung, Jakarta, Bekasi, dll. Tidak satupun saya diterima di perusahaan yang saya lamar. Saya bertanya, apa yang kurang dari saya (tidak bermaksud sombong)? Padahal, bicara fasih, pakaian necis, mantan aktivis di organisasi, bisa menulis, bisa presentasi, hanya saya tidak punya pengalaman. Tidak punya referensi.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Setelah itu, saya memutuskan tak ingin menjadi karyawan, pegawai, atau bahkan PNS. Saya harus menjadi diri yang kreatif, hidup mengandalkan kemauan, keyakinan, keuletan, kegigihan, serta kreativitas diri. Lalu saya coba-coba berbagai aktivitas, mulai menulis di koran yang tak pernah dimuat, berjualan, membuka kursus komputer, bisnis MLM, ternak ikan, ternak kambing, “ngorder” berbagai peralatan dan barang cetak, serta kini membuka jasa pelayanan masyarakat berupa tempat pembayaran tagihan rekening listrik, telepon, dan cicilan lainnya. Selain itu, saya juga tengah merintis bertanam kayu, jual beli elektronik dan servis, serta aktif juga di kegiatan pemberdayaan masyarakat.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Saya sadar, bahwa jika saya melakukan seperti kebanyakan orang lain melakukan, saya akan termarginalkan. Saya akan mati di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Sejak saat itu sya memutuskan, akan melakukan apapun yang tidak dilakukan oleh orang lain. Kalau orang-orang berbondong-bondong untuk tes PNS, biarlah itu orang lain, dan saya tidak akan melakukan. Justru saya akan melakukan yang tidak dilakukan orang lain, meskipun itu tidak popuer.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Apa yang harus kulakukan? Apa saja, terutama yang berkaitan dengan dunia usaha, wirausaha, wiraswasta, dan hal-hal lain yang tidak digandrungi kebanyakan orang. Mengapa? Sebab secara logika, di sini tidak banyak saingan, dan kita bisa dengan lebih cepat mencapai puncak. Soal jaminan masa depan? Saya yakin, di dunia ini tidak ada jaminan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Oleh karena itu, “ilmu sapi” ini menjadi isnpirasi bagi saya, bahwa hanya orang-orang yang tidak memiliki identitas, karakter, serta kreativitaslah yang selalu mengikuti arah angin, keguyuban, serta popularitas kekinian. Padahal, kesuksesan selalu hadir dari kebalikannya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Dan sebagai informasi, hanya 6 % mantan mahasiswa di seluruh Indonesia yang terjun ke dunia usaha, dunia yang secara totalitas mengandalkan kemampuan, kegigihan, keberanian, spekulasi, serta keuletan dan kesabaran, termasuk kompetensi, kualitas dan dan keyakinan. Berarti lahan ini masih kosong, siapapun bisa memberdayakannya untuk kemaslahatan hidup diri, keluarga dan masyarakat kebanyakan.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Selamat menempuh hidup yang berbeda, tidak populer, dan kurang direstui oleh orang tua serta keluarga kita, termasuk calon pendamping hidup. Siapkan mental, bendung air mata, dan buktikan pada dunia bahwa apa yang tidak dilakukan oleh yang lain bisa menjadi sumber kekayaan, keberkahan dan kebahagiaan hidup kita di kemudian hari.</p><p style="text-align: justify;">Selamat berkarya...<br /></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Hasan Tujuh Pilarhttp://www.blogger.com/profile/00541663432695081413noreply@blogger.com0